Rabu, 30 November 2016

Memilih yang halal

HADITS KE ENAM ARBAIN AN NAWAWI
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ       [رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.  (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Meskipun dikatakan bahwa halal dan haram sudah jelas, namun pada prakteknya, di jaman globalisasi ini, banyak produk makanan yang tidak diketahui dengan jelas kehalalannya.
Dulu, ketika sebagian besar makanan kita produksi sendiri, kita lebih mudah menjaga kehalalan makanan kita, Tapi saat ini, kita sudah terbiasa membeli produk buatan pabrik, yang sering kali diimport dari negara lain. Untuk itu, standarisasi kehalalan sebuah produk menjadi kebutuhan (bukan kewajiban).
Standarisasi halal biasanya dilakukan melalui sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh lembaga yang terpercaya. Kalau di Indonesia sertifikasi halal hanya di keluarkan MUI, di Australia terdapat beberapa lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal dan semuanya terpercaya. 
Sertifikasi halal memang bukan kewajiban, ia adalah kebutuhan . Maksudnya, kalau saya membeli bakso di pedagang keliling di Indonesia, saya tidak akan menanyakan sertifikasi halal MUI ke tukang bakso. Karena saya berprasangka baik bahwa semua daging sapi yang disembelih di RPH di Indonesia (Pulau Jawa khususnya), dipotong dengan melafazkan Basmallah.
Kalau kemudian muncul beberapa kasus tentang bakso yang dibuat dari daging haram atau produk bersertifikasi halal yang haram, maka itu adalah kasus yang membuat kita lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi sebuah produk. Dan hal itu sebaiknya tidak lantas membuat kita menganggap tidak penting fungsi sertifikasi halal.

Saat ini, ketika saya tinggal di Australia, dimana sebagian besar produk tidak merasa perlu mencantumkan sertifikasi halal, saya berpegang kepada  beberapa langkah berikut:
1. Prioritas pertama, membeli produk bersertifikasi halal
2. Memiliki aplikasi halal check di handphone. Aplikasi ini saya gunakan untuk mengecek bahan-bahan yang terkandung dalam suatu produk. Biasanya sebuah produk akan mencantumkan bahan berawalan E. Misalnya: E100 -  E107 adalah bahan yang masuk kategori halal. Kok repot ya? setiap belanja harus memeriksa ingredient dulu? Ah engga kok, itu hanya untuk pertama kali. Sesudahnya saya akan mengingat produk-produk mana saja yang tidak mengandung ingredient yang haram.
3. Berkomunikasi langsung dengan produsen. Beberapa kali saya menelepon dan mengirim email kepada produsen mengenai status halal produk mereka dan mereka menjawab dengan senang hati. Biasanya saya akan bertanya," Apakah produk anda mengandung konten hewani?" Nah beberapa produsen yang sudah sering mendapatkan pertanyaan tentang ini, kemudian bertanya,"Apakah kamu menanyakan kehalalan produk kami?" Dan komunikasi pun berlanjut.
4. Memilih produk vegetarian atau vegan. Jika logo halal tidak tersedia, saya kemudian lanjut mencari logo vegetarian atau vegan, dengan asumsi bahwa ia tidak akan mengandung alkohol.
5. Sharing informasi dengan sesama teman. Sharing informasi ini menjadi sangat bermanfaat, apalagi jika informasinya didapatkan dari teman yang telah lama tinggal di Australia dan memiliki pengalaman lebih banyak dalam memilih produk halal.

KONDISI DARURAT
Kondisi darurat adalah saat saya terpaksa makan di luar rumah, baik di rumah orang lain atau di restoran. Untuk kondisi seperti ini, prioritas pertama tetap mencari makanan/restoran yang halal. Kalau itu tidak memungkinkan, saya akan berusaha memilih makanan yang cocok untuk vegetarian atau seafood (dengan asumsi bahwa makanan tersebut tidak mengandung alkohol atau tercampur dengan lemak b*bi). Kalau tidak bisa juga, dan ini adalah prioritas terakhir, maka saya akan makan makanan yang ada secukupnya (selain produk yang jelas-jelas haram seperti b*abi dan darah). Hal ini mengacu pada ayat:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 173).

Apa yang saya lakukan, mungkin tidak dapat diseragamkan bagi setiap orang. Namun tentunya kita akan selalu berusaha agar makanan yang kita konsumsi dan kita sajikan untuk anggota keluarga kita adalah makanan yang halal dan thoyib (baik). Jadi jangan lelah untuk menjaga kehalalan makanan kita ya......

Sabtu, 12 November 2016

Berkata baik atau diam

Alkisah di sebuah diskusi ilmiah yang mengedepankan critical thinking, Lamarck dan Darwin berdebat tentang asal muasal mahluk hidup. Yang satu mengusung Theory of Inheritance of Acquired Characteristics, yang satu lagi mendebat dengan Theory of Natural Selection. Mereka berdebat dengan mengedepankan argumen masing-masing yang didasarkan pada riset yang dapat dipertanggungjawabkan.
Debat kemudian berlanjut menjadi chaos ketika kedua kubu tidak menerima pendapat lawan dan saling mencerca.
Kalau kita bertanya pada Sang Pencipta, mungkin Ia akan menjelaskan mana teori yang benar dan mana yang salah. Atau mungkin Ia membenarkan kedua teori untuk konteks yang berbeda. Sayangnya hidup tidak sesederhana itu, tidak ada fasilitas tanya jawab langsung antara mahluk dan Pencipta.
Perbedaan pendapat berdasarkan penafsiran yang berbeda terhadap satu masalah tentu saja diperkenankan. Yang tidak elok adalah ketika perbedaan pendapat itu menjadi ajang untuk saling menjatuhkan dan menyakiti orang lain dengan lisan atau tulisan yang tidak pada tempatnya. Karena lisan (atau saat ini lebih seringnya tulisan) yang tajam , laksana sembilu yang mengiris hati.
Pada debat yang terjadi saat ini, bolehlah tiap kubu saling mengedepankan argumen dengan analisa yang cermat dan landasan yang tepat. Namun para komentator juga perlu memilih kalimat yang tepat agar tidak mengundang emosi pihak lain.
Nampaknya, sekarang adalah masa yang tepat untuk mengamalkan hadits arbain ke 15," Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam".