Jumat, 03 November 2017

Tips wawancara LPDP

Beberapa orang bertanya pada saya tentang tips wawancara beasiswa, terutama LPDP. Berhubung saya tidak lulus wawancara LPDP, maka saya akan mengumpulkan komentar beberapa teman yang lulus seleksi LPDP dan sedang melanjutkan studi di Victoria, Australia. Semoga bermanfaat:




1. Seorang PhD student di Monash University.
Pertama, yang perlu diperhatikan adalah saat menulis essay. Di essay ini, kita perlu menulis dan menceritakan apa yang benar-benar sudah dan sedang dilakukan. Jadi jangan mengarang indah. Dalam wawancara, saya mulai dengan menjelaskan mengenai riset proposal, dan menjelaskan alasan pemilihan tema riset. Perbincangan kemudian berlanjut dengan persiapan untuk sekolah, termasuk persiapan dalam mengajak keluarga turut serta. Saya juga menjelaskan tentang publikasi yang pernah saya tulis (Red: ini penting untuk pelamar PhD). Waktu wawancara tidak lama, hanya sekitar 10 - 15 menit.
Sebenarnya, sebelum diwawancara, pewawancara sudah membaca berkas-berkas pelamar, jadi saat wawancara, mereka berusaha mencari bukti-bukti yang menguatkan poin-poin yang ada di berkas.
Selain wawancara, seleksi LPDP saat ini menyertakan leaderless group discussion yang juga memberikan kontribusi cukup besar dalam kelulusan pelamar. Ini juga perlu dipersiapkan oleh pelamar.


2.Seorang PhD student di Deakin University.
Berbagai macam tips sepertinya sudah banyak ditulis di internet. Dua tips dari saya:
Pertama adalah kita bisa menyakinkan para pewawancara yang jumlahnya 3 orang, yaitu 2 orang dosen dan 1 orang psikolog. Dulu, untungnya wawancara masih bisa pakai Bahasa Indonesia, karena saya merasa Bahasa Inggris saya kurang. Kalau sekarang, untuk yang LN (luar negeri) wawancaranya harus dengan Bahasa Inggris. Pertanyaan dari pewawancara misalnya: Anda kan PNS, kenapa harus S3? Bukankah S1 saja juga sebenarnya sudah cukup untuk melakukan pekerjaan sehari-hari? Pertanyaan lainnya dan umum misalnya: apa manfaat riset anda untuk Indonesia.
Kedua, kita menunjukkan bahwa kita sudah banyak melakukan persiapan utnuk kuliah. Saya dulupernah ditanya, misalnya: Anda mau S3 tapi belum punya pengalaman publikasi di jurnal mana pun, bagaimana bisa? Untungnya waktu itu pembimbing reseach proposal saya juga mengajak saya untuk berkolaborasi menulis jurnal dan sedang dalam proses review, sehingga bisa dijawab.
3. Karina Hakman, Master by coursework student di Monash University.
Tips dari saya:
- Jujur dalam menjawab. Beasiswa ditujukan untuk mencetak lulusan-lulusan yang bisa berkontribusi. Berbohong atau mereka-reka jawaban hanya akan berujung kepada ketidaklayakan pada saat menjalani beasiswa atau setelahnya, dan jadi tidak berkah.
- Jujur bukan berarti tidak dipersiapkan. Waktu beasiswa Sampoerna Foundation (Red: kontributor mendapatkan beasiswa dari Sampoerna untuk studi S1 di Auckland University, New Zealand), saya membuat hampir 100 pertanyaan yang saya persiapkan jawaban-jawabannya sejujur-jujurnya. Sebagai wujud usaha terbaik dalam berikhtiar.




4. Saya, PhD student di Deakin University. Tidak lulus wawancara LPDP.
Saat saya diwawancara, saya sudah mengantongi LoA (letter of acceptance) dari Unesco IHE. Sayangnya memang, Unesco IHE ini tidak termasuk dalam list LPDP dan penganugerahan gelar PhDnya akan tandem dengan satu universitas di Belanda. Nampaknya bukan itu, alasan kenapa saya ditolak, karena saat itu LPDP memperkenankan pelamar untuk mendaftar setelah dinyatakan lolos seleksi.
Saat wawancara, saya tidak dalam kondisi terbaik. Sering kali saya mengucurkan air mata saat menjawab pertanyaan. Terus terang saja, saat itu saya sangat berharap dapat lulus, karena beberapa bulan sebelumnya gagal lolos seleksi ADS dan akan merasa frustasi kalau tidak mendapat beasiswa disaat saya sudah mendapatkan LoA dari sebuah lembaga ternama.
Sebagai informasi, mendapatkan calon supervisor dan LoA dari sebuah universitas adalah sebuah perjuangan tersendiri mengingat saya tidak punya publikasi dan bukan lulusan universitas di luar negeri.


Kalau mengevaluasi wawancara kedua saya dengan Australia Awards, nampaknya saat itu saya sudah lebih tenang dan berprinsip nothing to lose. Saya menjelaskan proposal riset dan pengalaman kerja saya yang sesuai dengan tema riset yang saya ajukan. Diskusi saat itu mengalir dengan baik, jadi saya seperti seorang ahli junior yang sedang ngobrol dengan ahli senior. Mungkin itu inti dari menghadapi wawancara, pelamar dalam kondisi tenang, dalam kondisi terbaik dan memiliki pemahaman terhadap bidang studi yang akan dipelajarinya nanti. Tapi, jangan khawatir juga untuk menjawab tidak tahu terhadap sebuah pertanyaan yang memang tidak kita ketahui. Toh, tujuan kita mendaftar beasiswa memang untuk mempelajari hal yang belum kita ketahui.




Ok, baru itu saja untuk saat ini. Mudah-mudahan nanti akan ada tips dari awardee lain. Selamat mempersiapkan diri bagi para pelamar.

Meja kerja PhD student yang jauh dari rapih

Senin, 10 April 2017

Tips wawancara Australia Awards

Nampaknya saya perlu membagi pengalaman sebagai orang yang pernah gagal dalam wawancara JST PhD ADS dan akhirnya lolos beasiswa AAS pada tahun berikutnya:
Semoga bermanfaat bagi teman-teman yang akan mempersiapkan wawancara JST AAS tahun ini.

Hal yang perlu dipersiapkan (selain usia, lulus S1 & S2) adalah kemampuan Bahasa Inggris (saat ini persyaratan untuk PhD nilai IELTS nya 6 ya?) dan proposal riset yang memadai untuk jenjang S3. Satu lagi hal yang tak kalah pentingnya adalah 'mental'.

Menurut saya, alasan saya tidak lolos JST tahun 2013 adalah karena dasar teori saya belum cukup kuat saat itu. Meskipun tema yang saya usung sudah cukup menarik bagi para interviewer, namun saya belum bisa menempatkan ide saya itu ke dalam khazanah ilmu yang sudah ada. Ditambah lagi, saat itu saya benar-benar nervous, sehingga bahkan saat ditanya tentang buku yang pernah saya baca pun.... Judul buku & nama pengarangnya menguap begitu saja.

Pada wawancara JST tahun 2014, saya sudah memperbaiki proposal saya. Saya tidak mengubah tema, namun saya mengubah pendekatan (appoach)nya, dan tidak lupa menempatkan proposal riset saya diantara riset-riset sebelumnya. 

Namun, tahukah anda? Nampaknya poin yang paling penting dalam wawancara ini adalah : Saya sudah lebih menyiapkan mental saya. Saat itu saya berprinsip 'Nothing to lose'.
(Karena saya sudah gagal wawancara tahun sebelumnya & gagal wawancara LPDP,  membuat saya dicap sebagai orang yang selalu gagal wawancara, he he he.) Ok, itu menurut saya.


Setelah saya diterima AAS, saya pernah ngobrol dengan salah satu pewawancara saya, yang kebetulan menjadi pengajar PhD Ext kami selama 2 minggu. Menurutnya, untuk dapat dipanggil wawancara JST, seseorang harus punya topik yang menarik. Jika ada 2 orang yang memiliki topik serupa & sama menariknya, maka akan dilihat siapa yang memiliki IPK & kemampuan bahasa inggris yang lebih tinggi.

Topik yang dianggap menarik adalah topik yang tidak hanya menarik untuk orang Indonesia, tapi juga untuk orang Australia. AAS berharap, topik itu dapat dipelajari di Australia dan dapat diimplementasikan di Indonesia. 
Saya ingat sekali, seorang official AAS yang pernah hadir saat wawancara saya tahun 2013, menunjuk saya di kelas Phd Ext, "saya ingat wawancara kamu tahun lalu tentang sumber daya air. Kami tertarik dengan tema seperti itu, karena itu adalah masalah di Australia dan masalah juga di Indonesia". 

Well, ternyata saat itu saya berada pada topik yang benar, namun masih perlu mengupgrade cara saya mempresentasikan topik itu.
Ok, itu saja dulu. Semoga sharing ini dapat bermanfaat bagi para pemburu beasiswa. Salam.